Satu

Kami berempat sedang menunggu Sophia di depan gedung perpustakaan kampus ketika Sandra tiba-tiba mendapat panggilan telefon. “Si mama, que pasa – halo mama, ada apa?” Hanya itu kurang lebih yang dikatakan Sandra, selebihnya dia hanya terlihat mendengarkan. Tak lama kemudian Sandra menjatuhkan tubuhnya ke tanah, membiarkan telefon genggamnya terbanting keras dan tanpa ampun memecahkan kaca layar.

Aku dan Simon tidak sadar apa yang terjadi sampai mendengar Saal berteriak memanggil nama Sandra dengan suara yang terlalu lantang untuk dianggap biasa. Sophia yang sedang berjalan keluar gedung juga buru-buru berlari ke arah Sandra. Kami tidak bertanya apapun, hanya ikut bersimpuh di atas tanah dan membiarkan Sandra menangis dalam pelukan Saal.

Itu kali pertama kami semua melihat Sandra menangis, dia terlihat begitu menderita dalam setiap isakannya. Cukup lama sampai akhirnya Sandra terlihat tenang. Dia melepaskan pelukan Saal dan menunduk menutup wajahnya yang kacau. Kami masih tetap diam, menunggu Sandra mengatur nafasnya yang terdengar sangat berat. Sophia menyodorkan tisu, namun Sandra menolaknya. Katanya dia perlu ke toilet, tapi aku tidak mau membiarkan temanku itu pergi sendiri. Aku mengikuti sambil mencoba menyamakan kaki sendiri dengan langkah Sandra yang begitu lunglai.

Tidak ingin sama sekali mengganggunya, aku hanya berdiri menunggu di depan toilet dengan sabar, mendengarkan Sandra kembali meraung dalam tangisannya. Saat tiba-tiba hening, aku pun memberanikan diri mengetuk pintu toilet.

“Ada apa?” Tanyaku dengan nada suara yang dibuat serendah mungkin.

“Papa…,” Sandra hanya berhenti sampai disitu.

“Boleh aku masuk?” Namun aku tidak mendapat jawaban apapun selain suara tangis Sandra yang kini kembali terdengar pilu.

“Aku masuk ya,” kataku kemudian sambil memberanikan diri membuka pintu toilet yang tidak terkunci itu.

“Papa… meninggal,” Sandra terlihat duduk tidak berdaya di pojokan toilet dengan wajah yang terlihat semakin merana daripada sebelumnya.

Aku langsung memeluk sekuat aku mampu membantunya menopang derita yang sedang dirasakan sahabatku itu. Kehilangan adalah penyakit yang selamanya tidak akan pernah pulih, aku membatin. Kalaupun sakitnya sedikit melunak, paling-paling hanya karena waktu yang memaksa kita terbiasa dengan pedihnya saja.

Aku merasakannya sejak Bunda pergi, satu-satunya orangtua yang sepanjang hidup pernah aku miliki, yang bertanggung jawab atas hidupku hingga hembusan nafas terakhirnya.

Bunda juga tidak pernah membicarakan tentang ayah, dan walau penasaran setengah mati, aku tidak pernah memberanikan diri untuk bertanya. Jeannette Walls dalam bukunya The Glass Castle banyak bercerita soal ayahnya yang pemabuk, memilih membeli alkohol atau berjudi daripada mengobati rasa lapar darah dagingnya sendiri. Jadi sebaiknya aku bersyukur saja, toh Bunda tidak pernah membiarkanku kelaparan walau tanpa sosok ayah di rumah.

Sampai hari itu pun tiba, menit-menit terakhir sebelum Bunda menghembuskan nafas terakhirnya. Ketika itu usiaku hanya lima tahun, tapi seluk-beluk kejadiannya masih aku ingat jelas.

Katanya, “Bunda punya satu rahasia, tapi Bunda mau Soé janji kalau ini bakal jadi rahasia antara Soé dan Bunda aja, Soé mau kan janji sama Bunda?”

Hari itu Bunda baru saja selesai dengan kemo terapi yang belakangan harus dijalaninya demi sebuah pertahanan hidup. Rutinitas pengobatan itu selalu membuatku tak enak hati, wajah Bunda selalu saja terlihat sangat lelah setelahnya. Belum lagi semua itu merampas keindahan tubuh dan juga rambut panjang indahnya.

Aku hanya tersenyum sambil mengangguk, sepakat dengan permintaannya. Bunda lalu terdiam, menutup mata dan menarik nafas panjang, sebelum akhirnya terlihat mantap untuk mengirimkan sebuah pesan penting yang selama ini telah dijaganya.

“Pak Banyu Astajingga, laki-laki yang pernah kamu lihat di rumah Nin, dia itu ayah kamu. Tapi ini cukup jadi rahasia Soé sama Bunda, bisa kan Soé pegang rahasia terakhir Bunda ini?” Setiap kata terucap dengan lirih dan terbata-bata, air mata kemudian jatuh di pipi kurus wanita yang begitu aku cintai itu. Lalu hening, Bunda kembali mengatur nafas yang terlihat semakin berat dan kemudian terlihat seolah tertidur begitu saja.

Suara nafas Bunda yang belakangan selalu terdengar berat tidak lagi bisa aku rasakan. Mesin monitor Bunda mengeluarkan suara nging yang sangat nyaring. Perawat dan dokter mulai berdatangan, salah satunya menekan jarinya ke tangan Bunda. Tak lama dokter menutupkan selimut pada wajah Bunda. Aku melihat mereka saling pandang dan kemudian satu persatu pergi meninggalkan ruangan. Pagi itu aku dipaksa mengerti bahwa Bunda tidak akan lagi terbangun dari tidurnya demi menemaniku, persis seperti yang pernah dikatakannya pada hari pertama kami bermalam di rumah sakit itu.

Katanya, “satu hari nanti Bunda harus pergi, bukan karena Bunda gak mau nemenin Soé lagi, tapi karena Tuhan punya rencana lain untuk Soé dan Bunda. Nanti Bunda bakal tertidur dan gak akan pernah lagi bangun. Tapi Soé perlu inget ini, saat hari itu datang, Bunda akan sabar nunggu Soé di surga sana.”

“Memangnya rencana lain Tuhan itu apa Bunda?” Tanyaku, merasa kesulitan untuk mencerna semua pesan panjangnya itu.

“Tuhan mau supaya Bunda gak kesakitan terus”, jawabnya dengan senyum yang terlukis nyata di bibir.

“Katanya Bu Fatimah surga itu tempat paling indah sedunia yang Tuhan ciptain buat orang baik, Soé juga mau ikut ke surga sama Bunda, Soé anak baik kok” aku menjawab nasihatnya dengan mantap.

Tapi ketika hari itu datang, entah bagaimana aku mulai merasakan takut. Air mataku jatuh membasahi selimut yang menutupi kaki Bunda. Nafasku juga tiba-tiba sesak, aku merasa ketakutan menggerumuti semua tubuh mungilku. Bunda tidak akan menjawab segala pertanyaanku lagi sejak itu, kami tidak akan lagi pernah bertemu sampai aku tahu dimana surga itu. Katanya tidak semua orang mendapat tiket menuju ke surga Tuhan. Aku mulai bergidik ngeri, bagaimana jika aku tidak mendapatkannya, bagaimana jika aku tidak lagi bisa bertemu Bunda.

Diluar hujan juga mulai turun, seolah langit dan seisinya ingin menemaniku merasakan segala duka dan kengerian yang menyelimuti jiwa kecilku itu. Membayangkan Bunda tidak akan lagi ada untuk menemaniku, perihnya menusuk hingga ke dalam tulang-tulang. Belum pernah aku merasakan kesedihan yang begitu hebat seperti hari itu.

Dadaku semakin sesak, tangisku pun semakin menjadi. Aku menundukan kepala di pangkuan Bunda hingga seorang perawat datang, mencoba menggiringku untuk menjauh dari ruangan kelas satu rumah sakit yang telah Bunda tinggali selama satu bulan terakhir. Sebelum membiarkannya membawaku keluar, aku berdiri dan kembali melihat ke arah Bunda, membenamkan wajah mungilku dalam tangan kanan Bunda yang terjatuh kaku di samping kasur sambil terus terisak.

Kulit Bunda terlihat pucat dalam balutan pakaian rumah sakit, namun aku melihat senyum di garis bibir wanita yang telah banyak mengajariku hakikat cinta yang sesungguhnya itu. Melihat senyum Bunda terlihat begitu tenang, seolah mencoba mengatakan bahwa Bunda telah lepas dari rasa sakit yang belakangan tidak lagi mampu ditutupinya di depan mataku membuat sedihku pun sedikit mereda.

Aku kemudian menengok ke belakang, menatap perawat yang telah dengan sabar berdiri menungguku di pojok ruangan. Dia telah begitu baik memberikanku yang hanya seorang anak kecil sedikit keleluasaan untuk berpamitan pada jenazah Bunda. Dia kemudian berjalan ke arahku, mengundangku untuk menggenggam tangan lembutnya dan menggiringku menuju bangku panjang taman rumah sakit. Perawat baik hati itu hanya menemaniku dalam diam, tanpa sedikit pun mencoba berkata-kata layaknya orang dewasa yang melulu merasa lebih banyak tahu. Dia hanya terus menggenggam lembut tanganku.

Aku melamun, batinku ketika tersadar kembali. Segera aku melepas pelukan Sandra, membujuknya untuk kembali menemui yang lain yang sedang cemas menunggu di luar gedung perpustakaan.

Bersambung ke – Dua

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *