Dua

“Kamu mau pulang ke Bogota?” Tanyaku, tapi Sandra tidak menjawab. Hanya tatapan kosong yang terlihat dari wajah yang sebelumnya selalu menjanjikan keceriaan itu.

Aku kemudian memberikan intruksi kepada Saal, Simon dan Sophia agar kami semua pergi ke apartemen Sandra. Baik aku maupun Sandra belum mengatakan persoalan apa yang sedang menimpanya saat itu. Aku menunggu Sandra yang mengatakan, atau setidaknya hingga kami sampai di tempat Sandra untuk berdiskusi apa yang sebaiknya dilakukan dengan Saal, Sophia dan Simon.

Sesampainya di apartemen Sandra, Sophia langsung menuju dapur, berinisiatif membuatkan teh hangat untuk menenangkan Sandra, dan aku sendiri menggiringnya ke kamar dan membantunya untuk berbaring di atas kasur. Saal dan Simon dengan sabar menunggu di ruang tengah. Aku dan Sophia kemudian meninggalkan Sandra sendirian di kamarnya, mengajak Simon dan Saal untuk bergabung dengan kami menuju dapur.

“Ayahnya Sandra meninggal,” aku membuka percakapan.

Tidak ada jawaban kecuali kesedihan yang langsung tergambar pada wajah sahabat-sahabatku itu.

“Aku ada uang simpanan untuk bayar tiket pesawat Sandra kembali ke Bogota, mungkin dia bisa terbang malam ini juga,” Saal angkat bicara. Kami tahu betul Sandra memang tidak memiliki banyak simpanan untuk bisa dengan mudahnya membeli tiket dan begitu saja pergi.

“Aku ikut patungan,” sama halnya dengan Saal, Sophia bersuara mantap, jelas menunjukkan simpatinya.

“Semua uang tabunganku baru saja dibayarkan untuk uang muka pembelian studio apartemen, tapi aku bisa meminjam uang orangtuaku. Kalau diantara kalian tidak keberatan untuk meminjamiku dulu uangnya dan malam nanti aku langsung minta orangtuaku transfer,” Simon mencoba menjelaskan kondisinya. Saal mengatakan bahwa dia tidak perlu memaksakan diri, lain kali akan ada kesempatan untuknya membantu.

“Aku ada tabungan, kita pakai kartu kredit siapa untuk bayar tiketnya?” Aku mengambil alih percakapan, tidak ingin membuat Simon terlalu lama merasa tak enak hati.

“Kita bisa pakai kartu kredit American Express punyaku, jadi kita tidak perlu langsung bayar saat ini juga,” Saal kembali mengambil inisiatif. Saat itu juga kami mengecek tiket pesawat, “demi Sandra bisa secepatnya pergi,” Saal melanjutkan.

“Sebaiknya salah satu dari kita ikut,” aku kembali angkat bicara, begitu khawatir membiarkan Sandra yang begitu rapuh pergi sendiri ke ujung dunia lain sendirian.

“Soé benar, sebaiknya ada yang menemani.” Simon mengiyakan yang juga langsung disetujui oleh Sophia dan Saal.

“Sandra yang kini begitu rapuh membutuhkan seorang yang mapan secara emosional seperti kamu Sophia,” Saal terlihat memohon. Sophia memandang Saal mantap, langsung mengangguk. Kedewasaan dan kebaikan hati Sophia memang tidak pernah aku ragukan sejak pertemuan pertama kami dulu.

Kami pun langsung sepakat, Sophia bersedia pergi menemani Sandra, pembawaannya yang menenangkan akan lebih mudah membuat Sandra merasa sedikit lebih nyaman. Ketimbang berada di dekatku yang kadang terlalu banyak diam atau Saal yang kadang terlalu banyak bicara atau juga Simon yang sering kali banyak pertimbangan dengan langkah apapun yang ingin diambilnya.

Kami mengambil tiket pesawat langsung tanpa transit, sehingga akan membawa Sandra secepatnya ke tengah-tengah keluarganya yang sedang berduka. Setelah selesai melakukan pembayaran, aku dan Saal segera menemui Sandra yang masih terus menangis di kamar.

“Sebaiknya kamu sekarang berkemas, pesawat kamu ke Bogota akan pergi malam ini. Satu jam lagi kita sudah harus sampai di la gare, jangan sampai telat karena TGV (Kereta cepat Perancis) menuju CDG (Bandar Udara di Paris, Charles de Gaulle) akan pergi jam 16:00.” Aku mengatakan semuanya dengan tarikan satu nafas.

“Sophia ikut nemenin kamu ke Bogota,” Saal menambahkan. Sophia sendiri sudah tidak lagi disana, dengan diantar Simon dia langsung bergegas mengambil beberapa pakaian di apartemennya sesaat setelah kami selesai membeli tiket.

Namun Sandra tetap tidak bergerak dari posisinya, berbaring menutup wajah dengan selimut. Isakannya masih terus terdengar walau lirih. Aku memutuskan mengemas beberapa barang penting untuknya, sedangkan Saal masih terus mencoba membujuk Sandra untuk beranjak dari tempat tidurnya.

“Semakin cepat kamu pergi, semakin cepat kamu kembali ke keluarga kamu,” Saal terlihat pantang semangat meyakinkan Sandra. Dia kemudian mengangkat tubuh Sandra, memaksanya untuk bangkit dari tempat tidur, menopang tubuhnya sendiri yang terlihat lemas. Entah bagaimana akhirnya Sandra terlihat mengikuti perintah Saal untuk menyisakan sedikit kekuatannya.

Bersambung ke – Tiga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *